21 Ribu Anak Jadi Korban: Bisakah Budi Pekerti Selamatkan Mereka?

Nuraini

21 Ribu Anak Jadi Korban: Bisakah Budi Pekerti Selamatkan Mereka?

Deteksi News – Sebagai orang tua, tentu kita semua merasa ngeri mendengar fakta terbaru: sebanyak 21.000 anak di Indonesia menjadi korban perundungan (bullying) di tahun 2025. Angka ini, yang diungkap oleh Komnas PA, sungguh mengkhawatirkan dan menyadarkan kita betapa pentingnya melindungi anak-anak kita dari ancaman kekerasan dan intimidasi di sekolah. Bayangkan, anak-anak kita, yang seharusnya menikmati masa belajar dengan gembira, malah harus mengalami trauma mendalam akibat perundungan. Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Banyak pihak, termasuk KPAI dan Komnas PA, terus menyuarakan keprihatinan mereka. Mereka melihat bahwa upaya pencegahan yang ada selama ini belum cukup efektif. Oleh karena itu, solusi yang komprehensif dan menyeluruh sangat dibutuhkan. Salah satu harapan yang muncul adalah implementasi kurikulum budi pekerti atau pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Apakah kurikulum ini benar-benar mampu menjadi benteng pertahanan melawan perundungan?

21 Ribu Anak Jadi Korban: Bisakah Budi Pekerti Selamatkan Mereka?
Gambar Istimewa : cdn1-production-images-kly.akamaized.net

Kurikulum budi pekerti, dengan penekanan pada nilai-nilai seperti empati, toleransi, dan tanggung jawab sosial, memang memiliki potensi besar. Dengan menanamkan nilai-nilai tersebut sejak dini, diharapkan anak-anak akan lebih peka terhadap perasaan orang lain, lebih menghargai perbedaan, dan lebih mampu menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua. Anak yang dididik dengan budi pekerti yang baik, akan cenderung membantu teman yang kesulitan, bukan malah mengolok-olok atau menyakiti mereka.

Namun, jalan menuju sekolah yang bebas perundungan tidaklah mudah. Kendala masih banyak, mulai dari kurangnya pendidikan karakter yang mendalam, pengawasan yang lemah dari pihak sekolah, hingga kurangnya penegakan aturan dan sanksi yang tegas bagi para pelaku perundungan. Bahkan, kadang-kadang orang tua pun turut berperan dalam pembiaran perilaku perundungan, membentuk siklus yang sulit diputus.

Data dari Komnas PA menunjukkan bahwa perundungan fisik (55,5%) masih menjadi jenis perundungan yang paling umum, diikuti oleh perundungan verbal (29,3%) dan psikologis/sosial (15,2%). Perundungan terjadi di semua jenjang pendidikan, dengan SD, SMP, dan SMA menjadi yang paling banyak terdampak. Mayoritas pelaku dan korban adalah laki-laki.

Untuk itu, peran serta semua pihak sangat penting. Orang tua, guru, sekolah, dan pemerintah harus bahu-membahu menciptakan lingkungan sekolah yang ramah anak, dengan pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas bagi pelaku perundungan. Sekolah-sekolah seperti Sekolah Terpadu Pahoa, Sekolah Islam Al Azhar Summarecon, dan Sekolah Terpadu Sedaya Bintang telah menunjukkan komitmen mereka dalam menerapkan kurikulum berbasis karakter. Kementerian Agama RI juga telah meluncurkan "Kurikulum Berbasis Cinta" dengan tujuan yang sama.

Apakah kurikulum budi pekerti mampu mencegah perundungan sepenuhnya? Mungkin tidak sepenuhnya, tetapi setidaknya ini adalah langkah penting dalam membangun fondasi karakter anak yang kuat dan menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman dan nyaman. Perjuangan ini membutuhkan komitmen dan kerja keras dari kita semua, untuk masa depan anak-anak Indonesia yang lebih baik.

Also Read

Tags

Tinggalkan komentar